Fasisme bukan saja menjadi ideologi politik, tetapi bisa menjelma dalam sebuah lingkungan sosial yang memengaruhi mental dan perilaku.
UMBERTO Eco dalam esainya yang berjudul Ur-Fascism (terj. Fasisme Abadi) mengemukakan bagaimana rasanya menjadi bagian dari sebuah semangat heroistik ketika Mussolini berkuasa. Ia mengatakan, bahwa di zaman itu, partisipasi dalam sebuah kelompok besar yang seragam, mengatasnamakan nasionalisme, adalah kebanggan tersendiri.[1] Nasionalisme seolah-olah mendarah dalam insan yang belia.[2] Di masa itu, fasisme adalah sebuah manifestasi dari triumfalistik nasionalis yang menggebu-gebu. Hari ini, modus operandi daripada fasisme cukup bisa dijumpai dalam keseharian. Sifatnya begitu banal karena saking menyebarnya.
Eco lantas menjelaskan bahwa fasisme tumbuh sebagai intisari sebuah gerakan totaliter. Dalam arti luas, totaliter yang mendarah daging. Elemen yang terkandung di dalamnya mungkin bertentangan, tapi membentuk suatu totalitas yang cukup absurd. Secara anatomis, ia menyebutkan setidaknya empat belas ciri-ciri fasisme, mulai dari pengkultusan tradisi sinkretik, tradisionalisme yang menolak modernisme, irasionalisme demi tindakan, kepatuhan secara buta, ketakutan akan perbedaan, frustasi individual/sosial, nasib sepenanggungan dan sebangsa, iri dan dengki pada kekayaan di pihak lain, penciptaan heroisme, elitisme, semua kalangan dididik untuk menjadi pahlawan, kecenderungan will to power yang, dan populisme selektif (pemimpin yang menciptakan penafsiran atas kehendak rakyat).
Semua prasyarat fasisme Pada aras keberadaan, masyarakat yang hidup di dalam fasisme didorong untuk menjadi monolitik. Hak-haknya luruh karena larut dalam sebuah keriungan. Jika ditilik dengan cermat, keempatbelas syarat tersebut selalu mengandaikan sebuah penyerahan diri secara total pada sang penguasa.
Di Indonesia, kita mengenal sebuah terminologi ‘feodalisme’ yang unik, yang kemudian didefinisikan secara menarik di Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat KBBI). Dalam pola pikir sejarah tentu saja kita mengenal feodalisme sebagai suatu masa di abad pertengahan. Itu tentu saja tidak salah, hanya saja KBBI membubuhkan sebuah pemahaman yang relatif baru tentang feodalisme, yaitu sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja.
Sebetulnya ada suatu posisi yang membentuk dan melanggengkan praktik fasisme. Itu melalui sebuah sistem feodal yang mengakar di mana-mana. Baru-baru ini, kita menyaksikan sebuah fenomena yang menimpa seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di sebuah Fakultas Kedokteran universitas negeri di Jawa Tengah. Sang dokter muda dinyatakan tewas bunuh diri karena diduga tekanan yang berat dari segala lini. Tak lama setelah itu, terdapat sebuah fakta yang menggelikan bagi saya. Hal itu adalah keberadaan senioritas yang bersifat struktural.
Setelah terkuak, maka informasi tentang perundungan juga diperdalam oleh keberadaan ‘Unthulektomi’.[3]Pada dasarnya unthulektomi adalah pedoman aturan yang harus diikuti dan ditaati. Isinya cukup mengagetkan sekaligus menyedihkan dan menggelikan, karena sifatnya nyaris seperti Undang-Undang yang mempunyai sebuah sistem imperatif. Secara singkat, buku ini adalah pedoman perilaku bagi para mahasiswa/i PPDS. Aturan-aturannya juga absurd, mulai dari menyiapkan administrasi, membersihkan bekas operasi, makan lebih belakangan dari ‘senior’ harus ‘manut’, dsb.
Saya ingin tekankan adalah bagaimana senioritas itu menciptakan kondisi mental yang sangat amat berbahaya bagi suatu lembaga atau organisasi. Slogan-slogan verbal yang bebal, romantisme aturan, Asal Bapak/Ibu Senang (AB/IS) menjadi salah satu indikatornya. Sering kita jumpai di mana-mana, senior seolah-olah merasa paling benar. Posisi senior selalu di atas angin. Budaya ini mengakar kuat.
Di saat yang bersamaan, terdapat pola upper-oriented, ketika ada tindakan yang selalu terkesan ‘menganggungkan’ pejabat yang berpangkat tinggi. Dalam bahasa sehari-hari, ungkapan ABS atau Asal Bapak Senang menjadi bukti utamanya. Yang selanjutnya wujud nilai yang tertanam akibat adanya hirarki nilai tradisionalisme Jawa adalah distansi politik antara wong luhur dan wong cilik. Seolah-olah ‘senior’ ada di tingkatan yang lebih tinggi dan ‘menganggap wong cilik ‘junior’ sebagai kelas dua.[4]
Secara anatomis, kelakuan para yang terhormat senior-senior feodal memenuhi semua prasyarat fasisme abadi, yaitu:
- Kultus tradisi sinkretik yang menggabungkan dan memandankan berbagai tradisi untuk dijadikan suatu kiblat. Untheloktomi memenuhi asumsi ini, karena ada berbagai ciri dari berbagai peradaban pula, seperti proseduralisme hukum sekaligus dogma ala Savarkar.
- Tradisionalisme yang menolak modernisme: secara definitif, senioritas berusaha untuk membendung cara berpikir yang bebas dan membebaskan. Mereka malah terus hidup dalam pengingkaran, yaitu la vérité, c’est moi: kebenaran adalah saya!
- Irasionalisme demi tindakan. Serikat senior membuat sebuah hirarki untuk komunikasi. Sebuah irasionalitas yang telanjang karena bagaimana mungkin terdapat sebuah hirarki dalam hubungan komunikasi?
- Kepatuhan secara buta. Frasa seperti jangan banyak bertanya, yang penting manut, hadir di kumpulan aturan komikal bernama ‘untheloktomi’.
- Ketakutan akan perbedaan. Unsur monolitik mengantarkan sebuah pelanggengan kekuasaan. Perbedaan adalah musuh. Melenting sedikit, sikat, bunuh, kafir yang kufur!
- Frustasi individual/sosial. Asal daripada frustasi adalah tekanan stres serta intensitas bekerja yang tinggi sehingga mencari sebuah eskapisme melalui bullying yang ditransmisikan ke luar.
- Nasib sepenanggungan. Sebagai bentuk apologi untuk bekerjanya power, maka diperlukan sebuah pembenaran bahwa kita sepenanggungan, hanya saja ditambah embel-embel senioritas yang maha-lebih.
- Iri dan dengki pada kekayaan di pihak lain. Pemerasan pada adik tingkat juga telah dilaporkan.
- Tidak ada perjuangan untuk hidup, melainkan hidup terus-menerus untuk perjuangan. Dalam senioritas, kita bisa menjumpai intensitas yang begitu keras dalam subordinasi. Tidak ada celah untuk sekadar bersantai, karena semua harus bekerja.
- Elitisme. Senioritas secara tidak langsung menciptakan sebuah kelompok elit yang bisa membuat perintah pada ‘bawahan’. Hal ini menciptakan eksklusivitas kelompok.
- Semua dididik untuk menjadi pahlawan, terutama kalangan ‘senior’ yang seolah-olah lebih tahu dan mau ‘mendidik’ dan ‘menyelamatkan’ sang ‘junior’.
- Kecenderungan will to power yang mengarah pada seksuasi. Dalam banyak laporan, ada kejadian di mana nafsu-nafsu falik hadir, terutama karena hirarki ‘junior’ versus ‘senior’. Will to power diarahkan ke ranah ini.
- Populisme selektif. Sang ‘senior yang berpura-pura menciptakan penafsiran atas kehendak ‘junior’. Frasa ‘kami lebih tahu’ adalah manifestation sehingga meluruhkan segala identitas yang melekat dalam diri ‘junior’.
Dari segenap paparan di atas, kita bisa menyimpulkan sedikit banyak sebuah realitas yang menggelikan–sekaligus banal–karena harus menelan pil pahit dalam sistem pendidikan. Esensi pendidikan, yang tak ubahnya, mengembangkan kapasitas mental dan intelektual seorang insan dibajak di tengah jalan oleh senioritas ala sistem feodal. Sistem ini berkorelasi aktif dengan sebuah tatanan fasistik, berdasarkan beberapa asumsi Umberto Eco.
Realitas ini memang sangat telanjang ketika dilihat dalam keseharian. Kita hidup dalam masyarakat yang bukan hanya feodal, tapi fasis. Jangan lupa, Eco menyebut, “Hanya satu dari sekian banyak bisa menandai koagulasi daripada eksistensi fasisme.” Untheloktomi adalah salah satu dari sekian banyak contohnya.
Leave a Comment