Ruang kelas adalah perpaduan ruang publik dan privat, dimana kegelisahan isu-isu dapat didiskusikan dan diperdebatkan dengan etika privat yang lepas dari skrutinitas pada umumnya. Nyatanya ruang kelas sekarang menjadi semakin sempit dan kaku dalam pembahasan.
Saat membaca sebuah kolom opini salah satu surat kabar, terdapat satu kalimat yang memetik perhatian yang dituliskan oleh Robert P. George, seorang profesor hukum dan filsuf politik Universitas Princeton, yaitu “di dalam ruang kelas tidak ada sejentik pun pemikiran atau ide yang sakral, semuanya harus dikritisi dan diawasi dengan rasionalitas objektif!”
Sekilas saat membaca, penulis merasa itu adalah kalimat yang akurat, tetapi juga jenaka. Bagaimana tidak, sekarang di ruang-ruang publik pun pembahasan sensitif seperti aborsi dan ketuhanan sudah menjadi isu kacang goreng yang laris manis. Pakem-pakem tradisional yang dianggap tidak patut diperdebatkan malah menjadi fokus utama gonjang-ganjing masyarakat. Rasanya, mana ada isu yang tidak boleh diperdebatkan lagi? Itu pun hanya di tingkat negara sendiri, belum mencapai ke masyarakat-masyarakat liberal internasional yang secara sosial tidak memiliki konstriksi mengakar seperti agama atau budaya selayaknya di Indonesia.
Tapi di sisi lain penulis juga merasa kalimat itu tepat sasaran. Meski diskusi di masyarakat seharusnya sudah menjadi jauh lebih bebas, tetapi mengapa lalu muncul absolutisme baru di tengah riuhnya proses relativisme ide-ide lama?
Absolutisme dalam hal ini diartikan sebagai garis merah moralitas dimana individu yang sedang berdiskusi menempatkan batasan asumsi. Tanah sakral intelektual yang tidak seharusnya dipertanyakan lagi, tidak patut dipertanyakan lagi, dan bila dipertanyakan akan berimplikasi terhadap integritas intelektual dan moralitas kemanusiaan seseorang.
Sesuatu seperti mempertimbangkan ulang apakah Nazi Jerman dibenarkan melakukan genosida, apakah kebijakan segregasi memiliki ruang dalam diskursus kenegaraan, apakah nyawa manusia bisa dicantumkan harga. Pemikiran-pemikiran ini dalam sejarah sudah terbukti adalah berbahaya. Pemikiran yang menjerumuskan peradaban dalam masa-masa terkelam manusia. Garis merah harga diri kemanusiaan; absolutisme.
Salah satu justifikasi yang penulis pernah pikirkan adalah berjalannya proses seleksi intelektual di tengah masyarakat yang sudah meruncing. Dengan kata lain, mungkin manusia sudah mendekati prinsip-prinsip moralitas objektif yang dapat diterima dengan akal sehat dan kebal akan waktu, yang kebetulan bukan merupakan ide-ide lama. Hal seperti hak asasi manusia yang menjadi absolutisme modern; tidak dapat diganggu gugat. Hal serupa turut diangkat dalam sentimen kemenangan moralitas liberalisme dalam buku “The End of History” Fukuyama.
Anehnya, Fukuyama sendiri menuliskan “The End of History” dengan penutup yang berakhir dengan tanda tanya. Dibandingkan memberi vonis akhir terhadap peradaban, beliau mempertanyakan apakah memang ada akhir dari dinamisme sejarah. Apakah absolutisme di abad ini adalah absolutisme sepanjang waktu atau hanya seperti namanya, abad ini saja. Lebih dari sekedar pertanyaan, Fukuyama menggambarkan fenomena ini sebagai bahaya, dan bukunya sebagai peringatan.
Contoh garis merah intelektual yang diberikan beberapa paragraf sebelumnya, menurut hemat penulis, dikategorikan sebagai garis merah dengan pertimbangan yang bijak. Tetapi tidak serta merta lalu penulis setuju untuk tidak membahasnya sama sekali. Dirasa bahwa garis merah tersebut hanya berlaku apabila diungkit dalam ruang publik dimana terdapat percampuran antara akademisi, awam, politisi, dan sebagainya yang masing-masing memiliki kepentingan untuk menggairahkan massa.
Kebalikan justru seharusnya berlaku di ruang-ruang kelas atau area akademik yang dengan spesifik memiliki kewajiban memberikan ruang diskursus seluas-luasnya tanpa batas. Hal ini agar “pengejaran kebenaran” yang disebutkan dalam artikel Profesor George dapat berfungsi dengan efektif dan efisien.
Gejala terbesar dari membabi butanya absolutisme modern adalah masuknya moralitas dalam pembahasan di ruang akademik. Pelabelan “baik” dan “jahat” atau “benar” dan “salah”. Kebiasaan mengeksklusikan beberapa pernyataan dari perdebatan dengan dalih merupakan fakta secara efektif mematikan proses intelektual pembuktian asumsi yang seharusnya berlangsung secara konstan. Merupakan dosa bagi akademisi atau intelektual untuk mendewakan asumsi pribadi, terutama dalam bidang sosial yang sarat akan kepentingan.
Douglas Murray menuliskan dalam bukunya “Madness of the Crowd” bahwa fenomena yang sama pada saat gelombang politik kiri di periode 2010-2015, kembali terulang pada gelombang politik kanan dari tahun 2016-2020. Fenomena tersebut adalah adanya pengerdilan upaya dialog dan perkumpulan komunitas yang berhaluan politik berseberangan, dengan dalih ancaman terhadap status quo. Merupakan sebuah kemunafikan apabila penulis hanya mencantumkan satu sisi dari diskriminasi tersebut, namun karena kedua gelombang terjadi secara beruntun dalam waktu yang cukup dekat dengan ingatan, maka lebih mudah rasanya untuk menjustifikasikan persamaan ini.
Masyarakat publik tentunya perlu berhati-hati dalam ketergesaannya menyatakan sebuah moralitas umum. Tetapi, lebih bertanggung jawab lagi adalah warga akademik dan kaum terpelajar yang telah mendedikasikan porsi hidupnya dalam pembelajaran lanjutan. Apabila sarang utama pemikiran kritis lalu menanggalkan skeptisismenya dan dengan bangga mengenakan dogmatisme, dari mana kemudian pertanyaan-pertanyaan dan sanggahan serta oposisi akan muncul? Bukan maksud dari tulisan ini untuk membuat seorang individu menganut nir-posisi dalam isu-isu sosial politik, tapi akan jauh lebih baik apabila suara kritik ditujukan bukan hanya terhadap ide-ide oposisi, namun juga lebih keras terhadap ide tersendiri yang telah dianggap pakem.
Leave a Comment